Illustrating Strategy

Chess is one of the most popular board games in the world. Played between two people, it’s about tactical moves and strategic planning. What makes it interesting however, is that the players can see…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Akhir Kisah untuk Gentian

Sudah lebih satu bulan sejak Dazai benar-benar tiada kabar. Laki-laki itu seakan ditelan bumi sedangkan Chuuya masih uring-uringan sendiri. Bahkan, selama sebulan ini Chuuya tak pernah absen untuk ke pohon flamboyan tempat mereka membuat janji, berharap di sana ada petunjuk yang membawanya menemui Dazai. Namun, sebulan ini pula dia tak dapat apa-apa selain kekecewaan.

“Dimakan.”

Chuuya memandang bekal yang disodorkan padanya. Itu Mitsuya. Satu bulan dia ditinggal Dazai tanpa aba-aba, Mitsuya adalah orang yang selalu peduli. Katanya, sebelum pergi meninggalkan mobil, Dazai sempat berpesan padanya untuk menjaga Chuuya, memastikan Chuuya makan dengan baik selama dirinya di sana—entah di sana mana.

“Makasih.” Chuuya meraih kotak bekal yang diberi, membiarkan kekasih kakak angkatnya itu duduk di kursi Dazai. Chuuya tidak begitu dekat dengan Mitsuya mengingat teman sekelasnya ini tidak banyak omong. Hal itu membuat dia sungkan untuk bertanya banyak hal tentang Dazai.

Dazai memang pandai memainkan perasaan Chuuya. Mengirim Mitsuya alih-alih Nikolai untuk menjaganya karena dia tahu, Mitsuya tidak akan bocor tentang keberadaannya, juga membuat Chuuya sungkan untuk bertanya. Jika Nikolai, tentu orang yang mendapat julukan badut kelas itu akan membocorkan informasi pada Chuuya mengingat dia berjanji akan menjadi bawahan Chuuya alih-alih ayah Chuuya.

“Chuuya,” panggil Mitsuya, “pengen ketemu Dazai nggak?”

“Masih harus gue jawab, ya?” Memasukkan satu sendok ke mulut, Chuuya kembali berkata setelah menelannya, “Kalaupun gue ngaku pengen ketemu dia, apa lo bakal kasih tau keberadaan dia ke gue?”

“Nggak.”

Singkat, padat, jelas.

Chuuya sudah tahu hal itu yang akan dia dapat. Tidak lagi heran atau pun kaget. Memilih lebih fokus pada makanan, sesekali mata Chuuya memandang ke luar jendela. Biasanya Dazai akan mengusili saat dia diam.

Tiba-tiba dia teringat Verlaine. Sang kakak adalah salah satu orang yang juga suka mengusilinya, keras kepala, pemaksa, dan menyebalkan. Walau berkali-kali Chuuya menolak segala bantuan yang dia beri bertahun-tahun lamanya, tak satu pun cacian yang Verlaine masukkan ke hati.

Mereka baru akrab kurang dari tiga bulan, kenapa Tuhan malah mengambil Verlaine untuk pulang?

Chuuya tahu hidup Verlaine terllau tertekan. Mengingat sejak kecil dia dituntut bisa ini dan itu hanya demi kepuasan orang tua, dijodohkan pun dia terima, tapi orang yang paling disayang malah dibunuh begitu saja. Verlaine beberapa kali menceritakan tentang Rimbaud pada Chuuya, mengajaknya menjadi obat nyamuk di antara mereka berdua. Dan dari sana Chuuya tahu seberapa dekat mereka.

Kalau dari cerita Verlaine, Rimbaud adalah sosok yang menyelamatkannya dari kegilaan. Verlaine pernah diam-diam terapi pada psikolog saat merasa ada masalah pada dirinya. Dan Rimbaud adalah sosok yang membantunya pulih dari itu semua. Dengan kematian Rimbaud yang dibunuh oleh ayah mereka sendiri, tentu pukulan telak yang membuat Verlaine ingin mati.

Dalam beberapa hari bahkan satu minggu, Verlaine masih bisa mempertahankan dirinya demi Chuuya. Namun, saat semua di luar rencana, dia bisa apa?

Saat sang ayah mengaku sendiri dia yang membunuh Rimbaud.

Saat ayah mereka meminta Verlaine mati daripada harus membantah perintahnya.

Saat ayah mereka memaksa Verlaine untuk mempelajari hal yang sama sekali bukan bidangnya dan akan dipukul bila ada satu kesalahan saja.

Chuuya ingat betul saat Verlaine mengungsi ke kamarnya, tanpa sengaja dia melihat baju sang kakak tersingkap. Saat hendak menutupnya menggunakan selimut, dia terpaku melihat beberapa bekas luka di punggung putih bersih milik Verlaine. Awalnya Chuuya pikir itu bekas percintaan Verlaine dengan Rimbaud, tapi saat diperhatikan lebih jelas, luka itu lebih mirip cambukan daripada cakaran. Tidak mungkin mereka bercinta saling mencambuk, bukan?

“Kalau kangen Bang Verlaine, nanti gue temenin ke sana, gimana? Gue nggak ada kegiatan hari ini.”

Tawaran Mitsuya itu menciptakan senyuman tipis di bibir Chuuya. “Makasih banyak. Nggak ngerepotin, kan?”

“Nggak.”

“Hahaha … lo niat banget jagain gue. Dibayar berapa sama Dazai?”

“Pake abangnya.”

Sepasang iris biru itu langsung melotot, kaget setengah mampus mendengar penuturan Mitsuya. Tentu ekspresi itu tak luput dari perhatian Mitsuya yang langsung tertawa.

“Gue bercanda.”

“Baru tau lo bisa bercanda.”

“Gue juga manusia. Manusia mana yang nggak bisa bercanda?”

“Bener juga.”

Tak lama setelah itu, Draken datang bersama Mikey, adik kelas mereka, meramaikan suasana di kelas XI IPA 2, membuat Chuuya merasa tidak sendirian walau Dazai sedang tidak di sini.

Siang ini Ran dan Rindou memutuskan berbelanja di minimarket yang tak jauh dari rumah dengan berjalan kaki. Keduanya berjalan beriringan, terlibat banyak pembicaraan mengenai hari-hari Rindou di kampus atau Ran di tempat kerja.

Sejak kecil, hanya Ran yang Rindou punya. Dia tidak pernah membantah apa pun yang kakaknya katakan, juga mendukung segala yang kakaknya suka. Bagi Rindou, Ran adalah setengah nyawanya. Dia tak akan jadi apa-apa tanpa Ran.

Bahkan, jika orang berkata dirinya hanya seorang adik yang berani bersembunyi di balik bayang-bayang kakaknya, Rindou tidak kesal. Memang begitu kenyataannya. Orang mengenal dia karena Ran. Dia hidup sampai sekarang juga berkat Ran.

Saat tiba di jalan raya, Ran berkata, “Lo ke minimarket duluan sana, gue mau beli sempol bentar, Ranpo titip.”

“Siap, Bang!”

Tepat setelah pamit, Ran langsung berbelok menuju penjual sempol yang tidak jauh darinya. Dia memesan dan membayar di awal, menunggu sang penjual menyiapkan pesanan. Namun, suara keributan di belakangnya membuat dia menoleh.

Sepasang iris ungu itu langsung membulat tak percaya saat melihat apa yang terjadi di depan matanya. “Rindou!” teriak Ran.

Pemuda berambut sepinggang yang dicat hitam pirang bergantian itu langsung berlari, tidak peduli pada sempol pesanannya. Masa bodoh dengan jalanan yang cukup ramai, dia hanya peduli soal adiknya.

Saat tiba di jalan raya depan minimarket, Ran menerobos kerumunan, memandang sang adik yang yang terkapar di genangan darahnya sendiri. “Rindou, ini abang. Hei, jangan tidur. Tolong, tolong saya bawa adik saya ke rumah sakit!”

Saat Ran hendak mengangkat tubuhnya, tangan Rindou bergerak, menahan sang kakak. “Bang … nggak usah ….”

“Nggak, Rin, lo nggak boleh kenapa-napa. Lo adek gue! Gue bilang apa sama bunda kalau lo kenapa-napa!”

“Gue kangen bunda ….” Senyum Rindou terukir, tangannya mengusap rambut sang kakak yang tergerai.

“Rin … gue harus apa?”

“Titip salam sama yang di panti … gue sayang mereka … dan,” kalimat Rindou terjeda, susah payah dia mempertahankan kesadarannya, “bilang sama Mitsuya, gue restui lo sama dia … sepenuhnya.”

Tangan Rindou yang tadinya mengusap rambut sang kakak luruh, menyisakan garis cairan merah di pipi Ran. Tak sanggup melihat kenyataan adiknya pergi lebih dulu, Ran mendekap tubuh Rindou erat, menahan air mata yang memaksa jatuh membasahi wajahnya.

Sementara itu, dalam mobil silver, seorang pria tampak frustasi, beberapa kali memukul setir mobil yang dia kendarai. Pria itu Tuan Haitani, ayah kandung Ran dan Rindou, juga orang yang menabrak anak bungsunya sendiri.

Dia tidak tahu jika itu Rindou. Sudah belasan tahun berlalu, tak sekali pun dia mencari informasi tentang anaknya. Dia baru tahu Ran anaknya saat orang yang menjadi tuannya memberi tahu.

Beberapa jam lalu, dia diperintahkan menabrak orang berambut mullet, orang yang menjadi kekasih anak sulungnya. Namun, tak pernah dia duga bahwa dirinya salah orang. Alih-alih menabrak kekasih Ran, dia malah menabrak anaknya sendiri. Dia baru tahu kenyataan itu saat mendengar teriakan Ran yang menyerukan nama Rindou.

Rindou Haitani, nama yang dia sematkan untuk anak bungsunya. Anak yang membuat sang istri mengorbankan nyawa, demi mempertahankan sosok bayi mungil yang sangat menggemaskan saat itu.

Dan dia mengkhianati istrinya. Dia membunuh Rindou, mengingkari pesan terakhir sang mendiang yang meminta dia menjaga anak mereka dengan baik. Walau, sejak awal pun dia sudah gagal.

Membiarkan Ran dan Rindou pergi dari rumah, hidup di daerah antah berantah, hingga berakhir tinggal di panti asuhan. Sejak awal dia sudah gagal, tapi kali ini dia sudah kelewatan. Masihkah dia pantas disebut sebagai seorang ayah bagi dua putranya?

Terlalu fokus pada penyesalan, pria itu tak menyadari bahwa lampu berubah merah. Tanpa tahu dia menerobosnya, bersamaan dengan sebuah truk gandeng yang melintas dari perempatan. Body bagian samping mobil sedan silver itu tertabrak, membuatnya terseret sampai beberapa meter.

Setelah terseret, mobil itu terpelanting, mendarat di jalan lain dalam keadaan terbalik. Di dalam mobil, Tuan Haitani memandang bagaimana mengenaskan keadaan mobilnya. Darah mengalir dari kening, napas yang mulai pendek-pendek. Perlahan, sepasang mata ungu itu memejam, bersamaan dengan penyesalan sebelum dia mampu mengucap kata maaf.

Di belahan dunia bagian lain, Dazai menurunkan ponsel saat panggilan terputus. Laki-laki berambut brunette itu beralih pada pemandangan di depannya. Beberapa waktu lalu, Fyodor—setelah menelepon puluhan kali—memberi kabar duka tentang kematian kakak keduanya. Dia sudah menduga bahwa masalah ini akan merembet ke mana-mana, tapi tak pernah dia duga bahwa Rindou akan menjadi salah satu korban.

Katanya, Rindou meninggal setelah ditabrak lari oleh mobil sedan silver—menurut kesaksian salah satu pembeli yang baru keluar dari minimarket. Lagi-lagi mobil sedan silver. Siapa lagi yang akan menjadi korban sedan silver setelah ini?

Saat dia berkata akan pulang ke tanah air, Fyodor menyampaikan bahwa Fukuzawa mengatakan dia harus tetap di sana untuk menghindari kekacauan yang lebih besar.

“Nih, bro.”

Lamunan Dazai buyar saat sebuah kopi kaleng disodorkan padanya. Menerima minuman yang diberi orang berambut perak di dekatnya, dia berkata, “Makasih, Shirase.”

Add a comment

Related posts:

Best Boss Ever

When I have the chance to talk to my clients about their company culture, we often talk about what kind of a boss they want to be. In a client meeting recently, with my Team Captain present, I said…

Craft Your Medium Title Carefully

As an author on Medium its clearly important that you choose enticing titles and subtitles to maximize your odds of readers clicking onto your story. The most successful writers on Medium will all…

Tackling A Code Project

A very wise and immensely knowledgable female programmer once told me to write and test code for when in it fails, not for when it works because it’s always going to work. This bit of advice to…